TRADISI MEBUBU
Desa Pikat terdiri dari lima banjaran. Salah satu
banjar di desa tersebut memiliki tradisi yang berbeda ketika malam
pengerupukan hari raya nyepi. Banjar
tersebut yakni banjar gelogor. Banjaran ini terletak di perbatasan utara desa.
Di banjar Gelogor tersebut memiliki satu tradisi yang cukup terbilang unik,
karena berbeda dengan desa yang lainnya. Tradisi tersebut adalah Mebubu.
Bubu adalah suatu kreativitas seni yang dibuat oleh
sekumpulan masyarakat. Bubu terbuat dari daun kelapa yang sudah kering atau
dalam bahasa bali disebut Danyuh.
Bubu tersebut dibuat satu minggu sebelum malam pengerupukan. Dengan berbahan
dasar danyuh maka dari sebulan sebelum hari raya nyepi masyarakat sudah mulai
mengumpulkan danyuh.
Ukuran bubu sangat berpariasi. Dahulu, ukuran bubu di banjar Gelogor tidak begitu besar. Karena masing-masing
kepala keluarga mengeluarkan satu buah
bubu. Berbeda dengan sekarang. Generasi muda di banjar Gelogor mengembangkan
kretivitas membuat bubu dengan ukuran dua kalilipat lebih besar dari bubu
biasanya.
Jumlah danyuh yang diperlukan mencapai 700 pelepah
daun kelapa. Dengan begitu, berat satu buah bubu mencapai 500 kg. Dalam
pembutan bubu diperlukan ketelatenan untuk mengikat ratusan danyuh agar tidak
mudah lepas ketika di angkat. Tali yang digunakan tidak sembarangan,
melainkan harus menggunakan tali dari bambu dalam bahasa bali disebut tali tutus. Ketika
sudah selesai bubu diangkat dengan menggunakan sejumlah bambu atau sanan dengan
posisi lurus kanan kiri. Jumlah anggota yang akan mengangkat bubu tergantung
dari besar kecilnya bubu. Jika berat bubu mencapai 500 kg, maka yang
mengangkatnya sampai 20 orang. dengan adanya kepercayaan terhadap suatu budaya
mistis. Berat bubu ketika belum mendapat tirta berbeda dengan berat setelah
mendapatkan tirta. Sehingga tidak jarang
sejumlah bubu sampai tidak bisa diangkat
sehingga cenderung dieret.
Bubu diangkat dari perbatasan desa sampai menuju
setra. Berbeda dengan pengerupukan yang menggunakan ogoh-ogoh. Bubu diangkat
ketika tepat jam 24.00 wita. Ketika tirta dari pura dalem sudah datang atau rauh dan menunjukkan waktu yang tepat
maka acara mebubu dimulai dan orang yang akan mengangkat bubu mendapatkan
wangsuh tirta. Selanjutnya bubu mulai di hidupkan dan di angkat menuju ke setra.
Di sepanjang perjalanan menuju setra, bubu diiringi
dengan gamelan bale ganjur yang menambah semangat para pemuda untuk
mengangkat bubu. Masyarakat juga ikut serta mengiringi perjalanan
bubu, bahkan tidak jarang masyarakat yang dari luar banjar gelogor ikut
meramaikan karena mereka juga penasaran dengan tradisi mebubu.
Di setra sudah disediakan tempat untuk menaruh
kepala sapi lengkap dengan sesajen yang lainnya. Ketika bubu sudah sampai, satu
persatu bubu diletakkan dibawah punggalan kepala sapi. Ikatan bubu dilepas dan
satu persatu danyuh dilemparkan ke api
yang sedang menyala besar. Didalamnya terdapat punggalan sapi. Punggalan
sapi tersebut didapatkan dengan cara menjawat, atau pemangku dalem mendatangi
warga yang memiliki sapi. Hanya pemangku dalem yang mengetahui sapi yang mana
layak untuk dijadikan sebuah punggalan.
Selama 2 jam, bubu sudah mulai habis terbakar. Kini
kesempatan para warga untuk mencari punggalan sapi kedalam api yang masih
menyala dengan menggunakan arit.
Keberanian warga memasuki kobaran api yang besar menjadi daya tarik bagi warga yang belum pernah menonton tradisi
Mebubu. Selama kurang lebih 30 menit
punggalan sapi akan ditemukan
oleh salah satu warga. Dengan ditemukannya punggalan sapi tersebut acara
mebubu akan selesai. Tradisi ini mencapai pukul 02.00 pagi. Selanjutnya
masyarakat kembali pulang kerumah masing-masing, sebelumnya masyarakat nunas
tirta dan bekas danyuh bubu sekaligus api dari bubu yang digunakan untuk
membersihkan bhuta kale di rumah masing-masing.
terima kasih untuk ulasan ini. KApan ritual ini dilakukan biasanya?
BalasHapusritual ini dilaksanakan setiap malam pengerupukan (sehari sebelum hari raya nyepi)
Hapus